SASTRA

Tuesday 28 February 2012

Petikan Gitar Andra


         Kini tak ada lagi tangan yang dapat menyentuh lembut tubuhku, tak ada lagi petikan senar yang dapat menusuk hati setiap telinga yang mendngar, tak ada lagi alunan lagu yang dapat menghenyakkan jiwa, dan tak ada lagi musik syahdu yang dapat menghisai anggunnya malam.

         Pagi ini begitu mencekam, mentari seakan enggan untuk menyinari bumi, dan burung-burung pun bungkam untuk bernyanyi. Aku tak mampu berbuat apa-apa! Bahkan saat ia sedang terbujur lemas, aku hanya bisa memandangnya dari sudut ruang hampa nan gelap. Hanya ada sedikit celah di sana dan kini aku sangat mrindukan belaian lembut dari tangan dingin seorang Andra. Andra yang selalu bersamaku di saat suka maupun duka.
         Aku hanya bisa menangis beku saat aku melihat sosok seorang Andra sedang menelan getirnya kenyataan dalam kehidupannya dan aku hanya mampu tersenyum dalam diam saat Andra sedang menikmati manisnya permainan roda kehidupan. Aku sangat mengagumi pangeran gitar ini. Tangannya begitu lihai memperlakukan bagian tubuhku, hingga tak pernah sedikitpun aku merasa tersakiti oleh jari-jari emasnya itu.
         Masih melekat jelas dalam ingatanku, saat senyum manis Andra mengembang menghiasi wajahnya dengan begitu indah, seindah dirinya memetik syahdu setiap senar-senarku. Saat itu, sepertinya ia sedang dimabuk asmara dan ia menuangkan perasaannya padaku melalui lirik-lirik lagu yang ia ciptakan dengan segenap perasaannya dari lubuk hati yang paling dalam.
         Rasa cintanya kepada seorang cewek yang bernama, Citra sempat membuatku jealous. Ah tetapi semua itu tak berlangsung lama karena setelah Andra resmi menjadi pangeran dari seorang Citra, ia tak pernah melupakanku walau sedetik.
         Suatu hari aku benar-benar merasa bahagia, saat Andra membawaku untuk berkenalan dengan Citra. Sungguh aku sangat senang, karena aku merasa telah menjadi bagian dari rasa bahagianya Andra.
***
         Entah mengapa, hari ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari diri Andra yang selama ini kukenal enerjik dan ceria. Bahkan ia tak menjamahku seusai dari sekolahnya yang saat itu aku tahu bahwa ia takut berpartisipasi dalam perlombaan gitar akustik yang di selenggarakan oleh OSIS sekolahnya. Beribu pertanyaan mulai muncul dalam benakku, apa yang terjadi pada Andraku ini? Apakah karena ia gagal memperebutkan gelar juara dalam perlombaan di sekolahnya? Ah, tapi tak mungkin! Andra tak mungkin seperti itu, Andra yang kukenal adalah Andra yang berjiwa besar! Jadi rasanya sangat tak mungkin kalau Andra bersikap seperti itu hanya karena kalah saing dari peserta-peserta yang lain. Aha! Aku tahu! Mungkin Andraku ini sedang ada masalah dengan Citra! Apakah betul itu?! Ah, si Citra ini...kok begitu tega sih dia menyakiti hati Andraku yang jelas-jelas sangat menyayanginya. Dasar Citra...
         "Say, badanku lemas banget ini!" Andra berdialog lewat ponsel, yang sepertinya ia sedang berbicara dengan Citra, sambil mengelus-elus dadanya dengan suara yang merintih.
         "Kamu istirahat saja ya sayang! Besok kita sama-sama pergi ke dokter!" Citra prihatin.
         "Ah enggak usah say... biar aku pergi sendiri aja!"
         Oh ternyata Andra hanya kecapean, tapi apakah mungkin ia hanya kecapean? Aku lihat wajahnya sangat pucat bak orang kekurangan darah. Memang belakangan ini ia sering di datangi oleh penyakit aneh yang membuat badannya lemas dan wajahnya pucat.
         Tarikan napasnya yang begitu panjang membuat perasaanku tersayat. Aku merasa ada yang tak beres nampaknya! Siang itu, kira-kira pukul 13.00, Andra telah kembali dari dokter. Dengan harap-harap cemas aku menanti hasil pemeriksaan kesehatannya. Amplop putih turut mengiringi langkahnya memasuki kamar. Kulihat satu benang perasaan was-was terselip menghalangi wajahnya nan elok. Nampak tergores rasa ragu yang menyelinap dalam dirinya untuk membuka amplop apik tersebut. Ia letakkan amplop itu di atas kasurnya. Tiga menit berlalu, Andra belum juga membuka amplopnya itu. Kembali ia menghampiri amplopnya setelah sekian lama berdiri memandangi kelamnya awan di siang itu. Sungguh aku tak mengerti apa yang sedang dalam pikiran Andra sat itu! Kembali kuamati gerak-gerik dari sang pujangga hati, tapi semakin lama aku memperhatikannya semakin tak mengerti pula aku dibuatnya. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata dan tangannya mulai liar membuka amplop yang terkesan seperti lukisan kematian untuknya. Setelah isi dari amplop tepat berada di hadapannya, ia mulai membuka perlahan kedua bola matanya.
         Meski Andra telah membuka amplopnya, tetap saja aku masih dikabuti oleh rasa was-was. Aku berharap Andra mau bercerita denganku atas apa yang tengah terjadi pada kehidupannya. Seusai memandangi isi dari amplop tersebut, Andra meneteskan air mata pada tubuhku sambil melantunkan satu lagu yang spontan tercipta dari lubuk hatinya.
         Sungguhku tak kuasa...
         Sungguhku tak berdaya...
         Saat kau gariskan,
         Diriku hanya tuk sementara...
         Ku tak tahu bagai manaku membalas cinta,
         Pada setiap orang yang kupuja...
         Tapi kusadari kutak berdaya,
         Atas semua yang t'lah kau gariskan...
         Perasaanku bak cuaca yang tak menentu, yang tadinya aku merasa sdih tatkala hangatnya air mata Andra membasahi tubuhku. Kini aku merasa sangat bergairah saat Andra mengembangkan kembali senyum yang telah hilang beberapa saat tadi. Ia pun mulai bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa dan meyakinkanku bahwa memang tak akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Setelah menyimpanku pada tempat yang nyaman, ia bergegas menghampiri bundanya yang telah ditinggal suaminya dua tahun silam karena kecelakaan maut pesawat terbang.
***
         Semakin hari, Andra semakin menunjukkan semangat hidupnya dan aku sangat menyukai itu, Andra memang benar-benar gagah. Dan sepertinya ia sudah memiliki satu jadwal yang sangat terperinci dalam satu minggu ini. Fuih, sempurna sudah kekagumanku pada sosok seorang Andra. Benar-benar Andra yang perfect!
         Aku terkejut, ketika Andra memboyongku pergi ke suatau tempat yang sangat indah, tempat yang beratapkan langit bertabur bintang. Sungguh begitu indah malam itu, bintang memancarkan sinarnya, bulan melengkungkan senyumnya, dan angin menemani setiap cercah sinar yang jatuh ke bumi dengan sentuhan lembutnya. Ditambah lagi dengan anggunnya tubuh Citra yang terbalut oleh gaun putih yang indah. Terlihat dari pancaran sinar mata Andra yang berbinar-binar mengungkapkan betapa besar kagumnya pada seorang Citra.
         Mereka bercanda, bercengkrama, dan saling memanjakan ditengah jatuhnya taburan sinar bintang. Sepi yang terus tercipta oleh waktu, menambah anggunnya suasana di malam itu. Sungguh besar anugerah Tuhan. Hingga saat puncak tiba, Andra menggenggam erat tubuh sambil bersiap untuk memetik setiap jari-jariku dengan jarinya dan menciptakan rangkaian petikan yang begitu menawan. Terkagum dalam senyuman Citra menyaksikan kepiawaian pangerannya dalam memainkan gitar sambil mendengarkan satu lagu buah karyanya sendiri yang ia beri judul, "Napas Citraku."
***
         Suatu hari, seperti biasa aku hanya mampu mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat dari kamar Andra, dari sini aku melihat air mata yang jatuh berguguran dari orang-orang yang begitu mengagumi dan merasa kehilangan sang pangeran gitar yang kini telah terbujur kaku tak bernyawa. Aku tak mengerti! Lelucon macam apa ini, Andra?! Semua berlalu begitu cepat dan sangat tak bisa kuterima! Benarkah Andraku telah pergi? Tapi mengapa ia pergi? Setega itukah ia meninggalkan orang-orang yang begitu menyayanginya? Tapi kenapa? Apa yang salah? Apa yang telah terjadi pada Andraku ini?
         Dalam gelapnya hati, kucoba telaah lebih dalam dan melihat sekeliling kamar hampa yang banyak menyimpan kenangan antara aku dan Andra. Aku tak percaya atas apa yang baru saja kutemukan di atas meja komputernya yang letaknya berdampingan dengan foto Citra. Satu minggu ini, Andra bersikap seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya. Padahal sesungguhnya, satu minggu yang lalu organ tubuh yang bersemayam dalam tubuhnya yang tak lain adalah jantungnya tengah menjadi bom waktu bagi dirinya, bom waktu yang hanya menunggu hitungan jari untuk meledak dan dapat menutup semua lembaran kehidupannya.


Oleh : Fia Nurfianti

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment