SASTRA

Tuesday 28 February 2012

The Transporter

          Mataku masih berat dan badan ini masih terasa lemah. Aku mencoba tidur di sepanjang perjalanan. Namun, kebisingan lagu tribal yang Mum putar di radio mobil menggangguku.
          Mum bohong, ia bilang dia akan pindah ke suatu tempat yang asyik. Coba tebak? Mum mengajakku ke Indonesia. Aku sangat senang mendengarnya, mungkin aku akan tinggal di Bali. Namun, Mum bilang aku tidak akan tinggal di daerah pantai lagi seperti 16 tahun sebelumnya. Benar saja, dari lahir aku selalu dibesarkan di daerah pantai. Dan aku selalu berpindah tempat tinggal sejak umur 5 tahun. Setahun di Gold Coast, dua tahun di Pattaya dan sisanya di daerah (entah di mananya) Queesland, Australia. Lalu, saat menginjak umur enam tahun aku menjalani hidup di North Shore.

          Tapi mengapa, di saat aku 16 tahun, di saat masa remajaku ini, Mum mengajakku pindah ke kota (entah di sebelah mana) Indonesia ini. Bahkan untuk mengeja namanya saja susah! Aku coba ...Pa-lem-bang, yang mungkin itu nama kota ini. Entah mengapa Mum pindah ke sini. Lebih tepatnya entah kenapa Mum mau saja dipindah tugaskan ke sini! Kenapa bukan Jakarta? Bandung? Yogyakarta? Kalau dipikir-pikir untuk apa ke Indonesia kalau menghindari daerah pantai!
          Bayangkan, kota ini bahkan tidak punya satu pun otlet Starbucks dan Taco Bell! Enggak asyik. This city is tottaly uncool. Dimana ombak itu? Dimana papan seluncur Rusty-ku yang sudah using?
          "Nathan, wake up! " Mum menguncang bahuku. Aku menyipitkan mataku.
          "We're here, honey. Are you okay?" tanya Mum.
          "Yeah, I'm cool. "Aku mengambil backpack-ku yang berisi notebook dan beberapa alat tulis itu.
          "Good luck for your first day, sweetheart."
          Mum mencium pipiku sembari aku melangkah keluar dari SUV hitam kami. Kepalaku masih berat dan aku menyipitkan mataku. Terdengar dari belakang sayup suara SUV Mum yang melaju meninggalkanku.
          Mataku agak terbelalak ketika melihat betapa megahnya gedung yang berada dihadapanku. Entah tulisan apa yang menempel di atas gedung itu. Yang jelas gedung ini adalah sekolah baruku.
          Aku berjalan meniti tangga sebelum menuju balkon. Kakiku masih bergetar. Kemarin, pesawat terguncang hebat karena hujan lebat. Beginilah hasilnya, aku namakan ini "shaking leg and puffy eyes plane syndrome'.
          Ah! Kenapa aku tidak langsung 'transport' diriku saja! Biar mereka tahu ada transporter di sini yang tidak perlu bepergian dengan pesawat ke segala penjuru dunia.
          Ide bagus Jonathan Ward! Kenalkan dirimu di depan kelas sambil berkata "Hi, I'm Jonathan1 I'm a transporter! I can transport myself anywhere, anytime." Kalau mereka akan berpikir aku adalah penggemar lunatik film fiksi ilmiah dan tertawa terbahak bahak. But by the way, memang sebegitu pentingkah memberi tahu mereka bahwa aku adalah seorang transporter?
          Sampai di balkon sudah berjejer makhluk-makhluk setinggi lima kaki. Ah, aku tidak boleh menyebut mereka begitu. Mereka akan menjadi guruku, mereka bukan hobbit, Nathan!
          Mereka tampak terkesima melihatku. Oh come on, cewek-cewek saja belum pernah melihatku setakjub itu. Anyway, aku bukan badut di pusat perbelanjaan atau taman bermain. Wajar saja kalau mereka membelalak takjub, mereka pasti sangat jarang melihat orang yang memiliki tinggi enam kaki dan dua inci.
          Satu persatu para guru menyalamiku dengan senyum hangat. Sesaat aku merasa seperti berada di North Shore High, sekolah lamaku. Salah satu guru menghampiriku. Sangat jelas ia sudah berumur, rambutnya terlihat beruban dan tipis, giginya nyaris tanggal semua. Namun ia berjalan tegap walau nyaris satu kaki lebih pendek dariku. "Welcome to Kusuma Bangsa High School. Jonathan," sapanya ramah.
          Seraya menjabat tangannya, aku menggumamkan nama sekolah ini secara baik. And I think I get that!
          Jonathan? Sebaiknya mereka mulai memanggil aku Nathan. Nathan terdengar lebih singkat daripada Jonathan. Atau mereka bias panggil aku Nate, like she did.
          Aku menyusuri langkah menuju kelasku yang katanya berada di lantai empat itu. Aku tahu ini bakal melelahkan kecuali saat aku memandangi cewek-cewek di sekolah ini. Mereka tampak cantik dengan kulit mereka yang kuning dan ada yang yang lebih cantik lagi dengan kulit mereka yang kecoklatan sempurna.
          Orang-orang mulai memperhatikanku dengan aneh. Nah, ini yang membuatku bingung dan muak. Aku mempercepat derap langkahku. Namun, tiba-tiba aku menabrak sesuatu, atau mungkin seseorang.
          BRUKKK! Ya, aku menabrak seorang gadis tepatnya.
          "I'm terribly sorry, "ujarku sembari merapikan lembar-lembar kertas dari mapnya.
          Ia tidak membalas. Menengadah pun tidak. Ia hanya berlalu setelah mengambil lembaran kertsa yang terjatuh. Yang bisa aku lihat hanya rambut hitam lurusnya yang berkibar-kibar dan kakinya yang jenjang berlari menelusuri sepanjang anak tangga.
          Ah, rasanya seperti cerita klasik saja!
          Akhirnya, aku masuk juga di kelas baruku. Dan akhirnya juga, keramahtamahan remaja Indonesia mulai membuatku jenuh. Mereka berulang-ulang menanyakan namaku, (Jonathan Ward panggil saja Nathan), di mana tempat tinggalku dulu (North Shore, oke?!). Mereka bahkan menanyakan berapa lama aku tinggal di Indonesia, padahal aku baru menginjakkan kaki di Indonesia jam tiga pagi tadi.
          Parahnya, mereka terus-menerus memanggil Jonathan. Rasanya aku menjadi dua puluh tahun lebih tua bila mereka terus memanggilku Jonathan. Rasanya aku menjadi dua puluh tahun lebih tua bila mereka terus memanggil Jonathan.
          Hal-hal yang membosankan juga terjadi, aku harus memperkenalkan diri di depan kelas sampai beberapa kali.
          Setelah beberapa lama, akhirnya aku dapat duduk dan bernapas lega juga di bangkuku. Aku ditempatkan di barisan ujung kanan nomor dua, di deretan paling belakang.
          Dan, akhirnya aku dan anak-anak lain belajar fisika dengan bahasa yang berbeda. Aneh. Tapi, untung aku bisa mengikuti perlahan-lahan.
          Great! Di hari pertama sekolah aku lupa membawa kotak pensil. Terpaksa aku meminjam ke salah satu dari 30 teman baruku ini. Aku menoleh ke samping kananku. Kulihat sesosok gadis dengan rambut hitam lurus yang tergerai di punggungnya. Jaket hitam bermotif tengkorak yang ia pakai cukup menyita perhatianku. Aku bertanya-tanya di mana ia membelinya. Ia terlihat santai mendengarkan lagu yang sedang diputar di iPod nano hitamnya. Cukup lama bagiku untuk mendapatkan perhatiannya dan berusaha meminjam pena karena ia tampak larut dalam lagu yang ia dengar. Tapi, dari penampilannya yang terkesan cuek mungkin saja ia tidak punya pena untuk di pinjamkan.
          "Excuse me," berkali-kali aku memanggilnya. Ia baru menengadah saat aku aku memanggilnya untuk ketiga kalinya. "Um, miss..." lanjutku. Aneh, baru kali ini aku memanggil seseorang yang sebaya dengan panggilan formal dan sopan. Hei, sepertinya dia adalah  gadis yang tak sengaja kutabrak di tangga tadi.
          Ia menyipitkan matanya.
          Namun, ia tidak bisa menutupi bahwa ia mempunyai mata cokelat besar yang amat indah. Ia terlihat mengantuk namun rona merah pipinya masih membuatnya terlihat segar dan manis. Begitu pula dengan bibirnya yang merah tipis.
          Aku tertegun sejenak.
          "may I borrow your pen?" tanyaku dengan bahasa Inggris yang amat dasar. Yah, siapa tahu kecantikan gadis ini tidak tercerminkan dalam bahasa Inggris yang baik dan benar. Ia mengangguk  dan merogoh kotak pensilnya lalu mengulurkan satu pena Hi-Tech biru padaku.
          "Thanks," ujarku. Lagi, ia tak mengatakan satu patah kata pun untukku. Aku penasaran ingin mendengarkan suaranya. Tapi ia kembali menggelamkan wajah sambil mendengarkan lagu dari iPod-nya. Sesekali ia menyentuh touch-pad untuk mengganti lagu yang sedang diputar. Sesekali aku mendengar ia bernyanyi kecil, setidaknya aku bisa mendengar suaranya walau sangat jlas ia tidak bisa beryanyi.
          Dari 30 siswa dikelas ini, gadis inilah yang belum pernah berbicara kepadaku. Padahal, aku ingin bercakap-cakap dengannya, mengetahui namany. Walaupun aku mendengar guru menyebutkan namanya di absen tapi aku tidak mendengarnya dengan jelas. Mungkin, jika aku tahu namanya aku akan lebih mudah mengingatnya ketimbang 29 murid lain.
          ***
          Satu jam pelajaran itu aku habiskan untuk mencuri-curi pandang kearahnya .
          Jam istirahat pun tiba. Ada tiga, empat orang anak mengajakku turun ke kantin untuk makan siang. Kebetulan aku juga sudah lapar.
          Aku mendapati sebuah kantin yang besar dan cukup bersih, nyaris menyerupai kantin North Shore High. Aku melihat-lihat sekitar. Adakah makanan yang sesuai dengan perutku. Yang aku dapati hanyalah nasi beserta makanan pedas dan berbumbu tajam. Aku masih belum terbiasa.
          Aku menemukan stall burger namun stall itu terlalu ramai. Perutku tidak bisa kompromi lagi, ia terus mengeluarkan  bunyi kecil yang mengganggu. Ah, aku sangat rindu Taco Bell! Andai ada Taco Bell di sini. Aku ingat aku sering makan  Taco Bell dengan dia. Ah, itu hanya sebatas masa lalu, Nathan.
          Aku beranjak ke kamar mandi kantin dan masuk ke bilik kedua dari pintu masuk. Aku kunci pintu bilik. Ya, aku akan transport diriku. Aku pikirkan ombak-ombak yang indah bergelung saat aku bermain seluncur. Pasir-pasir lembut yang menyentuh jari kaki. Aku bayangkan sebuah rumah sederhana dengan ayunan merah dan pohon Oak di depannya. Membayangkan kembali derap langkah kaki orang-orang yang berlalu lalang membawa anjing kecil mereka.
          Sebentar saja, aku rasakan semua di sekitarku bergetar. Air di dalam baskom kecil pun terlihat bergetar, bilik itu pun bergoyang seperti ada gempa bumi kecil.
          Aku memejamkan mata dan membukanya sedetik kemudian.semilir angin malam  pantai membuat nafsu makanku tertahan sejenak. Di sebrang sana aku melihat berapa anak kecil membawa anjing mereka jalan-jalan di malam hari.Aku menoleh kesebelah kiriku, aku dapati sebuah rumah sederhana  dan aku telah berdiri di bawah pohon Oak..Aku masih bisa melihat ayunan merah itu di dalam gelap.Aku ingat dulu aku sering menaiki ayunan ini semasa kecil. Biasanya di sekitar ayunan, Sam, anjing betinaku mengeluarkan suara nyaring meminta tulang.
          Aku terus berjalan menyusuri pinggir jalan yang berwarna merah  bata hingga aku berhenti melangkah tepat  di samping palang yang bertuliskan '17th Ave'.Aku melihat zebra cross di sampinya.
          Aku terus berjalan dan dari kejauhan tampak tulisan 'Welcom to the north shore'. Aku mempercepat langkahku dan semilir angin makin kuat menerbangkan rambut coklatku.Tak kurasa hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk berjalan dari 17th avenue ke North Shore.
          Aku melepas alas kakiku untuk menyentuh pasir-pasir halus North Shore. Ah, aku kembali ke kampung halamanku. Puas sudah aku melihat ombak-ombak itu bergelung seakan menyambutku dengan suka cita. Aku menghirup dalam-dalam angin malam. Sungguh segar dan bebas polusi.
          Aku berlari mengejar ombak namun aku unrungkan karena aku tak mau membasahkan baju seragamku. Aku hanya duduk dan merasakan air pantai yang menyentuh jari-jari kakiku.
          Andai Stacie ada di sini, ia yang biasanya menemaniku duduk di tepi pantai ini. Begitu menyenangkan melihatnya menari dengan pom-pomnya di tepi pantai ini. Begitu hangat saat ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Ia bahkan memujiku bahwa aku mempunyai bahu bidang dan pantas untuk disandari gadis secantik dirinya. Saat itu aku bisa merasakan rambut hitam lurusnya lurus tergerai menyentuh bahu hingga lenganku.
          Anadai aku dapat mencegahnya berjalan keluar sendirian dari North Shore malam homecoming yang ramai itu. Aku ingat saat mata cokelat besarnya tampak kosong, rona pipinya memudar dan memanggilku, "Nate, Nate,..." Memanggilku hingga sinar cokelat matanya benar-benar meredup. Pegangan tangannya  yang kuat terasa agak merenggang dan dingin, sampai akhirnya terlepas.
          Waktu menunjukkan aku masih punya sisa 15 menit lagi sebelum bel berbunyi. Aku melangkah meninggalkan North Shore. Aku pasang lagi sepatuku.
          Saat aku memasang sepatuku, aku melihat sesosok gadis berambut hitam lurus panjang dan mengenakan jaket hitam. Ia duduk di batang kayu yang dulu sering aku duduki berdua bersama Stacie. Batangan kayu tempat kami duduk berdua dan menikmati Taco, makanan kesukaan Stacie, atau menikmati secangkir macchiato panas. Aku memerhatikan gadis itu. Aku mengendap-endap berusaha mendekatinya. Stacie kah? Atau mungkin... gadis yang duduk di sebelahku di sekolah baruku? Rasanya tak mungkin.
          Ia tidak sendirian, ia duduk bersama seorang pria berambut pirang dan berkulit putih. Cowok itu terlihat sebaya denganku. Mereka tampak begitu mesra, duduk bersebelahan dan merapat. Mereka tampak serasi. Sang gadis menyandarkan kepalanya k bahu si pria. Yah. Hal yang dulu sering aku lakukan bersama Stacie. Namun, entah mengapa melihatnya kali ini membuat jantungku berdegup cepat dan pipiku terasa panas.
          Beberapa saat kemudian, sang pria berjalan meninggalkan gadis itu sendirian. Aku sempat mendengar beberapa ucapan pria itu. Ia hanya mengucapan selamat malam dan berlalu.
          Ah, saatnya aku kembali. Lima belas menit terakhir nyaris aku habiskan untuk melihat orang berpacaran!
          Saat aku memutar badan, aku rasakan pasir-pasir bergerak, sebagian tertiup ke udara mengikuti angin malam. Bumi pun terasa sedikit berguncang. Pohon-pohon palem di depanku pun bergoyang kecil.
          "Gotcha!" teriak suara dari belakangku.
          Aku membalikkan badan dan melihat gadis yang duduk di sebelahku tadi. Pertama kali aku melihat ia tersenyum, mirip sekali dengan senyum Stacie. Aku hanya tersipu malu.
          "Was it so great seeing other people romancing?" sindirnya.
          Aku tertawa kecil. "Nah,"jawabku sambil menggelengkan kepala. Aku menyadari dia hanya 3 inci lebih pendeek dariku. Stacie pun masih lebih pendek dari itu.
          "So a- a-are you a transporter?" tanyaku.
          Ia tersenyum simpul dan menjawab dengan melodi yang tadi aku dengar di kelas saat ia bernyanyi kecil, "You may say I'm a transporter but I'm not the only on."
          Nyanyiannya terdengar tidak lebih baik dari sebelumnya, lennon gadungan.
          Ia mengulurkan  tangannya, "Jonathan, please call me Mimi."
          Aku membalas dan menjabat tangannya, "Well, hello Mimi..."
          Aku baru menyadari bahasa Inggrisnya tidak buruk-buruk amat. Pantas saja, ia punya kekasih cowok Inggris! Daaan... ia juga tidak sombong-sombong amat.
          "Jonathan... Jonathan... how about Nate? Nate. Nate , sounds good."
          Aku tertegun. Hanya Stacie yang memanggilku Nate, bahkan Mum masih memanggilku Nathan.
          Aku menganggukkan kepalaku, "Yeah, it'll be good if you call me Nate."
          "Mimi," ujarku, "You must really like a treat."
          "Hell yeah! Will ya'?"
          Aku menganggukkan kepala, begitu senang aku dapat membuat Mimi tersenyum "What do you want?"
          Ia pun menjawab,"Hot Caramel Macchia to Grande please."
Aku mengulurkan tanganku, "Shall w transport? Anyway, anything else?"
          Ia pun bertriak, "Taco Bell!"
***
Oleh: Ayu Meutia Azevy

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment